Monday 25 May 2009

Pendidikan Tinggi Dan Daya Saing Bangsa


Dalam rangka menghadapi era global, maka “keunggulan kompetitif” suatu negara terhadap negara lainnya adalah menjadi faktor penentu agar mampu bertahan, berperan, dan bersaing. Globalisasi adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari.

Kampus ITS, ITS online - Dimulai dari globalisasi di tingkat regional Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Phillipina, dan berlanjut hingga antar Blok – Blok Perekonomian Dunia (MEE, AFTA, NAFTA, MEA), maka dampak globalisasi memacu lembaga Pendidikan Tinggi termasuk ITS untuk meningkatkan kualifikasinya.

Makna Daya Saing

Frasa “keunggulan kompetitif” tersebut bisa kita terjemahkan dalam 2 (dua) hal, pertama : memenuhi kebutuhan diri sendiri (tidak tergantung kepada negara lain), dan kedua : mampu berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan negara dan bangsa lain. Keunggulan kompetitif pertama tersebut kita sebut selanjutnya sebagai KEMANDIRIAN, sedangkan keunggulan kompetitif kedua kita sebut selanjutnya sebagai KEMANDRAGUNAAN.

Baik KEMANDIRIAN maupun KECERDIKAN sangat diperlukan dalam membangun daya saing suatu bangsa. Suatu bangsa akan berdaya saing tinggi bila bangsa tersebut MANDIRI, baik secara ekonomi maupun budaya. Artinya, segala pemenuhan kebutuhan ekonominya mampu dipenuhi oleh sumber-sumber ekonominya sendiri. Demikian juga budayanya, dimana bangsa tersebut menganut budaya-budaya berdasarkan nilai-nilai anutan (guiding value) yang tidak terinfiltrasi budaya negatif asing. Dengan demikian, maka KEMANDIRIAN membutuhkan “kesederhanaan” dan “keberanian” anak bangsa dalam mempertahankan dan memperjuangkan kekuatan ekonomi, dan budaya sendiri. Swadesi atau semangat menggunakan produk dalam negeri (buatan sendiri) yang diterapkan Mahatma Gandhi adalah salah satu contoh usaha kemandirian menghadapi perang ekonomi bangsa penjajah.

Contoh bagus dari Indonesia ditunjukkan oleh Menkes Siti Fadilah Supari , dalam hal prosedur sharing virus Flu Burung melawan dominasi lembaga penelitian virus Amerika Serikat yang berlindung dibalik WHO, dengan mengatakan : “Anda sebagai negara maju memang menguasai teknologinya, tapi kami di Indonesia memiliki virusnya dan rakyat kami yang menjadi korban. Silahkan tempelkan teknologi itu di jidat anda, apakah ia dapat menghasilkan sesuatu tanpa virus dari Indonesia”. Keberanian semacam ini adalah merupakan bibit KEMANDIRIAN untuk berbagi kekuatan ekonomi melalui penelitian teknologi yang dilakukan bersama-sama antara negara maju dengan yang belum maju. Contoh lain adalah tuntutan negara tropis di Asia, termasuk Indonesia, yang berani meminta kompensasi alih teknologi industri negara maju dalam hal penanggulangan pemanasan global, tidak sekedar mendapatkan insentif emisi , yang kemudian waktu harus mengeluarkan banyak uang ketika negara maju telah mampu menciptakan teknologi industri yang ramah lingkungan.

Bila KEMANDIRIAN telah menjadi suatu karakter dan semangat bangsa yang independen dan memiliki keberanian, maka langkah berikutnya adalah menguatkan semangat kemandirian tersebut menjadi keunggulan kompetitif yang benar-benar riil, yaitu KEMANDRAGUNAAN, suatu keunggulan daya saing yang berbasis Intelectual Capital. Bila daya saing KEMANDIRIAN membutuhkan suatu pembangunan karakter anak bangsa, maka daya saing KEMANDRAGUNAAN membutuhkan pengembangan sistem pendidikan (selain sistem kesehatan dan distribusi pendapatan nasional) yang mampu menghasilkan anak bangsa berkualitas tinggi.

Pendidikan disetiap tahapan menjadi hal penting dalam peningkatan daya saing bangsa. Pendidikan karakter untuk daya saing KEMANDIRIAN dibentuk mulai dari tahapan pendidikan Dasar hingga Menengah (DIKDASMEN), dan menjadi tanggung jawab bersama guru disekolah maupun orang tua. Pada tahapan inilah, anak bangsa dilatih agar mempunyai karakter independen dan keberanian. Pada negara-negara OEDC dengan ranking tinggi, seperti Finlandia, Jepang dan Singapore, lulusan SLTA nya telah mempunyai tingkat kemandirian tinggi, sehingga dapat dengan mudah diolah oleh Pendidikan Tinggi berikutnya.
Pendidikan tinggi sebagai bagian akhir dari proses peningkatan daya saing ini akan sangat menentukan peran dalam meningkatkan daya saing ekonomi suatu bangsa dan negara, sekaligus mengentaskan kemiskinan yang sekarang ini menjadi “program” populer negara berkembang dimanapun, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem Pendidikan Tinggi yang mampu menghasilkan lulusan yang berdaya saing global sebagaimana tuntutan skenario globalisasi (minimal ditingkat ASEAN 2015) yang tidak bisa kita hindari.

Pengembangan Kompetensi PT

Selain pembagian kompetensi lulusan yang jelas antara jalur pendidikan akademis (S1,S2,dan S3) dengan pendidikan vokasi (diploma, Poltek), maka dibutuhkan kurikulum yang menyeimbangkan antara kompetensi “hard skill” dengan “soft skill” yang mengakomodasi aspek teknis dan spirit teknopreneurship. Dalam penerapannya, kurikulum bermuatan teknopreneurship ini membutuhkan tim pengajar yang seharusnya mampu menjadi fasilitator dari pembelajaran aktif mahasiswanya. Dengan kata lain, pengajar harus di-teknopreneurkan dahulu sebelum menteknopreneurkan mahasiswanya.

Permasalahan yang terjadi dari penerapan ini adalah keyakinan dari kebanyakan pendidik bahwa “nature” dari seorang pendidik yang sifatnya melayani adalah berbeda dengan “nature” teknopreneur yang lebih bersifat profit making. Meskipun demikian, kita bisa meniru pengalaman yang diambil oleh pemerintah Singapore, dimana PT nya menyeimbangkan antara pengajaran, penelitian, dan aplikasi komersialnya. PT di Singapore selalu melakukan penelitian dengan syarat bahwa penelitian tersebut haruslah mampu dikomersialkan melalui kerjasama yang baik dengan industri (Laporan Tahunan 2004). Konsep integrasi ini diperkenalkan Singapore dengan istilah Teknopreneurship Education, yaitu mendidik mahasiswa dengan output intelektual yang layak jual dan berdaya saing tinggi.

Mengawali langkah seperti ini, maka PT bisa memulainya dengan memilih kendaraan “pengakuan internasional” nya melalui sisi kompetitif (daya saing) ekonomi negara, bukan sekedar sisi “komparatifnya” saja. Misalnya, pemilihan sastra jawa dan musik tradisional daerah tertentu sebagai kendaraan “ranking internasional” suatu PT di Indonesia memang dari sisi komparatif adalah pilihan jitu, tetapi hanya menghasilkan sedikit dampak ekonomisnya bagi daya saing bangsa. Pemilihan “renewable energi” bagi kendaraan “pengakuan internasional” PT di Indonesia yang beriklim tropis, akan lebih berdampak ekonomis dimasa mendatang meskipun dibutuhkan daya juang tinggi untuk bersaing dengan yang lain.

Pengembangan Bidang Studi Yang “Marketable”

Penyediaan bidang studi yang dibutuhkan pasar domestik hingga yang menjadi trend bagi kebutuhan pasar global adalah sangat penting untuk mencapai KEMANDRAGUNAAN . Pencapaian Visi Pendidikan Indonesia 2025 atau Visi Indonesia Emas 2050 perlu menggabungan antara “kearifan lokal”, yaitu keunikan potensi SDA daerah dengan peningkatan kapabilitas SDM. Sebagai contoh, bila suatu daerah mempunyai potensi jamu herbal dan SDM terampil yang banyak terlibat dalam industri rumahan, maka sudah selayaknya PT di daerah-daerag mengalokasikan dana risetnya untuk modernisasi dan memperkuat aspek pemasaran dari jamu herbal tersebut. Dengan demikian, maka dana riset PT tersebut akan menjadi stimulus bagi pengembangan potensi bisnis daerahnya, sesuai dengan “potensi lokal” masing-masing, sehingga pada akhirnya secara agregat akan mampu memberikan kontribusi nasional. Selain dana riset PT, maka seharusnya dana riset dari departemen-departemen teknis non Pendidikan sudah seharusnya dialokasikan melalui kerjasama penelitian PT, mengingat bahwa kompetensi penelitian adalah pada PT. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sudah melakukan hal tersebut, demikian juga dengan Departemen Perindustrian yang membangun pusat riset perkapalannya yang megah dan lengkap, yaitu NASDEC, di ITS.

Bila kita mau melakukan hal yang lebih idealis lagi, maka dimasa datang kita juga harus mulai mengembangkan bidang – bidang riset yang visioner dan sesuai kebutuhan masa depan , yaitu berupa ”newest engineering”, seperti bioteknologi, software, hardware dan elektronik, IT dan jasa Internet. Industri bioteknologi misalnya adalah merupakan bidang yang produktivitasnya tertinggi dengan nilai Profit Per Employee (PPE) rata – rata sebesar USD 278.000, sedangkan industri semikonduktor sebagai bagian dari kelompok hardware mempunyai nilai rata – rata PPE sebesar USD 268.000. Nilai PPE yang tinggi tersebut mencerminkan tingkat demand yang tinggi dengan tingkat suplai pemain di industri tersebut yang masih jarang. Nilai PPE yang tinggi secara tidak langsung akan menunjukkan tingkat produktivitas dan daya saing yang tinggi secara ekonomis, sehingga menjadi peluang bagi PT untuk menyediakan tenaga handal.
Peningkatan Kerjasama dan Kompetensi Global

Peningkatan jejaring yang lebih kuat dapat dilakukan dengan memperkuat kerjasama dengan PT ditingkat global, baik regional Asia maupun Internasional. Kerjasama ini bisa berupa pertukaran mahasiswa, kerjasama penelitian, hingga pertukaran pengajar. Kerjasama ini bermanfaat untuk meningkatkan akses penyaluran lulusan adalah karena PT Indonesia akan dikenal oleh perusahaan pengguna dari partner PT Asing tersebut. Namun perlu diingat bahwa diperlukan kesamaan “bahasa” tentang pengakuan kompetensi lulusan PT kita, yaitu melalui sertifikasi Internasional seperti Washington Accord, sertifikasi programming Java (SUN Microsystem), Axapta (ERP nya Microsoft), dan lain-lain hingga sertifikasi profesi nasional yang berlaku untuk tingkat Asia yang dikeluarkan asosiasi profesi seperti IAI (arsitektur),HAKI dan LPJK (Konstruksi) dll.

Oleh karena itu, maka sudah seharusnya PT yang kompeten di Indonesia mulai memikirkan “percepatan” sertifikasi Internasional dan memperkuat kerjasamanya dengan asosiasi profesi sebagai bagian dari penguatan jaringan maupun penguatan kompetensi lulusannya di era global, minimal untuk menghadapi tantangan eksternal kedepan dengan dimulainya liberalisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai tahun 2015 antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Phillipines. Dengan KEMANDIRIAN dan KEMANDRAGUNAAN, maka kita akan mampu menjadi “pemain” dipentas global, tidak sekedar penonton. Diperlukan dukungan secara sistemik dari Negara sebagai “fasilitator sistem” dan segenap komponen bangsa (akademisi, mahasiswa, politikus, pengusaha, dll) untuk bisa mencapai harapan tersebut. Majulah negaraku, sentosalah bangsaku (PS) (15 Maret 2008)

Sumber :
Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD, Rektor ITS
http://ww.its.ac.id/berita.php?nomer=4464
25 Mei 2009

Sumber Gambar:
http://www.ia-itb.com/modules/event/images/WEF%2008-09_Cover.jpg

Saturday 23 May 2009

Kurikulum Pendidikan Nasional Banyak Muatan


Yang menjadi persoalan adalah bagaimana lulusan PT kita memiliki tingkat kecerdasan. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang mengantar mereka bisa mengambil inisiatif dan meningkatkan kreativitas.
Hal-hal seperti itu yang perlu ditingkatkan di Indonesia. Dalam kondisi apa pun bisa mengambil inisiatif seperti pedagang-pedagang kecil, walau mereka tertekan namun nyatanya mampu bertahan.

KETIKA academia didirikan oleh Plato tahun 387 SM, pendidikan diselenggarakan untuk menyiapkan muridnya menjadi manusia yang sempurna. Seorang manusia yang mampu bersosialisasi dengan sesamanya, mampu mengubah lingkungannya, memiliki kebijaksanaan dan yang tak kalah penting adalah mampu untuk mempertahankan hidupnya dengan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari perjalanan waktu kita mengetahui bahwa pendidikan atau sekolah mengalami banyak perubahan. Sarana pendidikan disediakan sebaik mungkin kendati banyak juga fasilitas pendidikan yang belum menikmatinya. Kurikulum pun disusun sedemikian rupa.

Tetapi fungsi pendidikan itu masih kekal. Bagaimana menyiapkan anak didik untuk mampu mempertahankan hidup? Akhir-akhir ini, perdebatan akan fungsi pendidikan juga diperdebatkan. Ada yang menyatakan bahwa pendidikan ditujukan untuk membekali anak didik agar mampu mencari kerja setelah lulus. Pendapat berkata bahwa pendidikan itu harus memandirikan dan memampukan anak didik untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Untuk memperbincangkan hal tersebut, bersama kita telah hadir Prof. Dr. Thoby Mutis, yang menaruh perhatian khusus tentang pendidikan kewirausahaan yang bertujuan untuk menciptakan wiraswastawan muda. Dia telah berpuluh tahun bergelut di dunia pendidikan dan sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Trisakti. Kita akan berbincang di Perspektif Baru bersama Ruddy K Gobel.
------------------

Pak Thoby, sekolah dan perguruan tinggi bermunculan di Indonesia. Ada yang berpandangan, bila begitu banyak sekolah dan perguruan tinggi maka akan timbul inflasi sarjana atau terlalu banyak lulusan PT namun lapangan pekerjaan tidak ada. Bagaimana kita seharusnya menyikapi hal ini?

Saya kira orang yang berpendidikan tinggi di Indonesia bila diperbandingkan dengan AS, Korea, atau Singapura, masih kecil. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana lulusan PT kita memiliki tingkat kecerdasan. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang mengantar mereka bisa mengambil inisiatif dan meningkatkan kreativitas. Hal-hal seperti itu yang perlu ditingkatkan di Indonesia. Dalam kondisi apa pun bisa mengambil inisiatif seperti pedagang-pedagang kecil, walau mereka tertekan namun nyatanya mampu bertahan.

Saya pikir jumlahnya memang banyak dan memang PT juga bertambah. Tetapi yang penting adalah relevansi dan pilihan apa yang bisa diberikan oleh PT untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Jangan menambah masalah. Bagaimana alumninya mampu menciptakan lapangan pekerjaan, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Pendidikan kewirausahaan baru muncul lima atau enam tahun belakangan ini dan makin banyak orang yang melakukan pendidikan kewirausahaan di PT. Bukan hanya mata kuliahnya saja tapi juga mendirikan jurusan. PT menjadi komunitas di mana mahasiswa berinteraksi untuk membentuk dan membina jaringan di masa depan.

Selama ini kemampuan mahasiswa kita masih rendah. Lulus dengan IP yang tinggi, ternyata di dunia kerja tidak mampu bersosialisasi, beradaptasi, dan berkomunikasi. Apakah kurikulum kita terlalu banyak muatannya dan tidak fokus?

Ya, saya kira kurikulum kita perlu direvitalisasi, perlu perubahan. Bila kita bandingkan dengan AS, kurikulum kita terlalu banyak muatannya. Yang perlu dimunculkan adalah kurikulum yang relevan, mana yang berkaitan dengan core competency, mana yang berkaitan dengan pengembangan kreativitas, yang memacu kematangan, kesabaran dan daya tahan. Kecuali itu menjadi spesialisasinya. Jangan semuanya dicampur-baurkan. Seharusnya lebih sedikit tetapi relevan dengan kondisi di masyarakat. Misalnya pelajaran yang berkaitan dengan kemajemukan. Di mana-mana kita bertemu dengan etika kemajemukan karena masyarakat kita yang majemuk, multiculturism. Bagaimana mengatasi konflik dan itu tidak hanya bisa diberikan kepada satu dua orang tetapi juga dibutuhkan oleh banyak orang.

Hal-hal seperti itu perlu diperhatikan kecuali menjadi spesialisasi yang butuh pembelajaran yang mendalam. Misalnya master di bidang sport atau spesialisasi lainnya. Keahlian-keahlian khusus yang memang ada dibutuhkan seperti sensing (pengindraan) dalam ilmu perikanan untuk mengetahui apakah ada ikan atau tidak di satu wilayah. Kemudian kurikulum juga dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Kita telah berbincang mengenai kondisi PT di Indonesia yang membutuhkan banyak perubahan untuk meningkatkan kualitas lulusannya. Masalah lain yang mengganjal dalam sistem pendidikan kita adalah muatannya yang terlalu teoretis sedikit sekali yang mengajarkan aspek praktis. Apakah pendidikan kita juga diarah pada pemberian hal-hal yang berbau praktis?

Memang ada mata pelajaran untuk pematangan intelektual dan spiritual. Tetapi untuk yang berhubungan dengan keahlian barangkali untuk pendalaman teorinya 50% dan untuk kasus-kasus 40-50%. Ada perimbangan antara pengetahuan teoretis dan juga pengetahuan dari hasil pengamatan dan praktik. Di sini kita mulai mengadopsi problem based learning, kita mempelajari melalui kasus-kasus. Pendalaman teori ada, tetapi kemudian dimunculkan pertanyaan sesuai dengan problem based learning. Yang dipertanyakan adalah yang memiliki relevansi dengan lingkungan sekitar. Untuk mempersiapkannya kita meminta dosen-dosen untuk merumuskan problem based learning. Memang harus ada perubahan. Kalau dulu heavy theory, sekarang memang diperlukan teori tetapi untuk penajaman-penajaman dari program yang kita susun tadi, sehingga kandungannya lengkap. Sebab, ilmu itu ada theoretical knowledge, experiential knowledge, dan ada juga visionary knowledge. Ada hal-hal yang kita bisa pelajari dari teori, pengetahuan dari lapangan, namun ada juga dari pengetahuan untuk mempertajam penglihatan ke depan atau intuisi.

Teori bisa lapuk. Memang ada yang tidak, demikian juga halnya dengan kenyataan. Tetapi kenyataan di masa depan belum tentu sama dengan yang sekarang. Karena itu dosen harus mampu membuat buku yang baru, melihat sesuatu yang baru dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi. Jadi hal seperti itu yang memunculkan kesempatan di mana antara dosen dan mahasiswa timbul kesadaran bahwa mereka berada di satu komunitas yaitu learning society. Masyarakat yang sama-sama belajar, bukan mahasiswa saja tetapi juga dosennya. Karena ilmu yang diraih dosen di masa lalu belum tentu relevan dengan masa sekarang, apalagi di masa depan. Banyak teori yang bermunculan, apalagi di bidang ekonomi maupun manajemen. Memang harus ada pembaruan diri.

Lebih fokus mengenai pendidikan kewirausahaan. Dari pengalaman Pak Thoby sendiri apakah pengajaran kewirausahaan cukup relevan atau perlu dievaluasi?

Sistem tersebut tentu saja setiap saat perlu dievaluasi. Seperti buku yang saya tulis mengenai kewirausahaan perlu diperbarui seperti contoh kasus dan muatannya karena perkembangan waktu. Di Indonesia banyak yang tidak puas dengan teori-teori dari Barat sehingga kita menuliskan juga tentang bagi hasil, profit sharing, process sharing. Kebetulan saya sejak kecil saya sudah terlibat usaha bagi hasil dengan ayah saya, nenek, maupun dengan anak saya. Sehingga teori-teori yang berkaitan dengan yang hidup di masyarakat yang bisa dilihat dari pengalaman masa lampau. Bila di Indonesia kita menyebutnya dengan syariah bagi hasil di Amerika disebut kodeterminasi atau determinasi bersama. 54 % saham Microsoft itu dimiliki buruhnya sehingga tidak ada pemogokan.

Kemudian bagaimana mahasiswa itu berusaha untuk mandiri. Saya selalu menyatakan kepada mereka agar mencoba berusaha pada sore hari bila kuliah di pagi hari. Melakukan hal berguna untuk menambah pengalaman dan kematangan. Kuliah sembari kerja atau kerja sembari kuliah, itulah yang perlu kita tanamkan. Dengan demikian kita diajar juga untuk menghargai waktu.

Aspek-aspek apa saja yang perlu ditanamkan kepada mahasiswa dalam belajar kewirausaan?

Yang penting bila berwirausaha adalah berani mengambil inisiatif kemudian bagaimana melakukan koordinasi. Kebiasaan dan pengalaman memimpin akan terbiasa melakukan koordinasi, mengambil keputusan, juga meramalkan apa yang terjadi ke depan. Menjadi pengusaha itu harus punya mimpi. Mimpi yang relevan. Tetapi hal yang paling penting adalah kesederhanaan dalam hidup atau the power of simplicity. Menjadi wirausahawan itu harus benar-benar menjadi orang yang ulet. Bila punya uang tidak digunakan untuk berfoya-foya tetapi untuk menabung. Kemudian muncullah ekonomi tabungan. Bagaimana yang usaha kecil dipelihara dan dan dikembangkan. Kita menekannya kepada mahasiswa untuk memulai dari yang kecil-kecil seperi kios atau warung. Small is beautifull, greater is better. Setelah mandiri kemudian bergabung menjadi besar tetapi dengan kondisi yang lebih bagus.

Apa yang Anda dulu lakukan untuk meyakinkan bahwa pendidikan kewirausahaan itu perlu?

Ketika saya pertama kali di Trisakti, saya berdiskusi dengan kalangan wartawan mengenai berbagai hal termasuk tentang kewirausahaan. Kemudian saya memutuskan untuk menerbitkan buku kendati saat itu belum ada mata kuliahnya. Dasar inilah yang kita gunakan untuk memulai mata pelajaran kewirausahaan baik untuk mahasiswa S1 maupun S2. Saya kebetulan memiliki pengalaman dengan membina sekitar tujuh ribu pengusaha kecil di sekitar Jakarta Barat yang bergabung dalam Koperasi Kodanua. Saya sering berinteraksi dengan mereka. Pengalaman mereka kita jadikan kasus-kasus dalam perkuliahan. Kemudian dalam pelaksanaan KKN atau penerapan ilmu dan teknologi sebelum ke lapangan kita bekali kewirausahaan.

Hal-hal seperti ini yang kita kembangkan secara perlahan. Kita merasa bahwa mahasiswa tertarik dengan itu, bahkan ada yang menjadikan kampus sebagai pembangunan jaringan di masa depan. Banyak lulusan kita yang begitu lulus langsung berusaha seperti bengkel. Kita melihatnya sebagai suatu kebangkitan dan kita bersyukur bahwa dengan adanya mata pelajaran ini mulai memberikan pencerahan kepada mahasiswa. Kebetulan kita memiliki kerja sama dengan koperasi-koperasi yang anggotanya adalah pedagang atau pengusaha kecil. Dan mereka yang paling tahan selama krisis.

Namun permasalahan penting yang tak kalah memusingkan adalah permodalan. Bagaimana mengatasi hal ini?

Permodalan memang sangat penting. Anggota Koperasi Kodanua yang merupakan pedagang kecil dan pengusaha kecil itu mereka membiasakan diri menabung. Sepuluh ribu saja sehari, maka dalam setahun akan terkumpul sekitar tiga setengah juta. Karena semua anggota melakukannya, uang yang terkumpul mencapai Rp 100 milyar dan mereka sekarang memiliki 12 kantor. Inilah yang disebut dengan internal financing. Sebenarnya pinjaman itu sebagai pelengkap saja. Modal yang kedua adalah kepercayaan. Pada saat ini yang hilang di negara kita adalah kepercayaan. bagaimana membangun kepercayaan itu yang kita bekali dari dini. Kekurangannya modal kita dapatkan dari pihak eksternal seperti bank. Tetapi sifatnya sebagai pelengkap saja. Untuk mendorongnya perlu peranan pemerintah sejak sekarang. Perayaan-perayaan dibuat sesederhana mungkin, pejabat tidak memakai mobil-mobil mewah.

Keterampilan lain yang harus dimiliki oleh mahasiswa adalah kemampuan beradaptasi. Mahasiswa mampu menghadapi perubahan. banyak yang tidak siap dengan perubahan lingkungan. Tetapi perubahan juga perlu dimunculkan karena dari perubahan itu sendiri kita memulai sesuatu yang baru dan lebih berguna. Mengantisipasi perubahan dan menyesuaikan perubahan itu sangat perlu.

Sumber :
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/7/28/f1.htm
23 Mei 2009

Sumber Gambar :
http://www.rujakmanis.com/gallery2/d/4016-1/Aming+sarjana.jpg

Monday 18 May 2009

Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi Masih Rendah


Angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia. "Presentase angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi) masih cukup rendah dibanding dari jumlah penduduk Indonesia'' kata Taufik Hanafi, Direktur Pendidikan dan Urusan Keagamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa (10/3).


Rendahnya angka tersebut menurut Taufik dipengaruhi oleh angka kelulusan SLTA yang juga masih rendah.Berdasarkan Angka Kerja Menurut Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan di Perkotaan dan Pedesaan tahun 2008 oleh Bappenas, angka tertiggi kelulusan SLTA dari tujuh regional (desa dan perkotaan) hanya mencapai 30, 28 persen dari total usia sekolah. Sedangkan angka terendah di Nusa Tenggara hanya mencapai 21,10% dan di Jakarta dan Pulau Jawa angka kelulusan SLTA hanya mencapai 28,43 persen.

''Untuk tingkat pendidikan dasar memang sudah cukup baik tapi untuk tingkat lanjut setingkat SLTP dan SLTA masih tertinggal dibanding negara lain,'' kata dia.Menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programe 2002-2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Ketiga dari bawah untuk negara ASEAN. di bawah Vietnam yang menduduki peringkat 105, Filipina (90), dan Thailand (78).Peringkat tertinggi negara ASEAN diduduki Singapura, yaitu ke- 25 dari 170 negara.

Taufik mengatakan untuk mendukung rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2008 pada lima tahun kedua (2010-2014) angka partisipasi diharapkan meningkat menjadi 25 persen.''Memang peningkatan yang diharapkan cukup tinggi. Tapi angka tersebut harus diupayakan untuk mendukung RPJPN hingga 2025 mendatang,'' kata dia. fia/ism (10 Maret 2009)

Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/36291/Angka_Partisipasi_Pendidikan_Tinggi_masih_Rendah
18 Mei 2009

Sumber Gambar:
http://sps.upi.edu/v4/wp-content/gallery/mimosa-2008/img_0886.jpg

Menyelaraskan Mutu Pendidikan Tinggi Indonesia dengan Standar Eropa


Di masa datang, universitas-universitas di Indonesia akan memiliki standar mutu yang sama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Eropa. Artinya Indonesia tidak hanya mengirimkan para mahasiswa ke Eropa namun mahasiswa daro Eropa juga dapat memperoleh gelar dari Universitas di Indonesia dengan standar yang tak kalah bermutu dengan tempat belajar di negeri mereka berasal.


Visi tersebut tengah dirintis Universitas Indonesia dengan dua universitas terkemuka dari Eropa yaitu Universitas Parma dari Italia dan Universitas Duisburg - Essen dari Jerman.

Bersama dengan Universitas Kebangsaan dari Malaysia, ketiga lembaga pendidikan tinggi tersebut tengah menjalin proyek European Union (EU) ASEAN Credit, Transfer System (EACTS). Melalui mekanisme EACTS, mahasiswa yang belajar di salah satu dari keempat universitas tersebut bisa mengikuti program pertukaran mahasiswa dan pada saat lulus akan memperoleh gelar ganda (joint award degree) dari dua universitas peserta EACTS baik dari Asia Tenggara dan Eropa dengan bekal kualitas pendidikan yang prestisius.

Demikian ungkap dua akademisi Eropa Prof Ing Roberto Menozzi dari Universitas Parma dan Prof Ing Axel Hunger dari Universitas Duisburg-Essen dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Rabu.

“Kami tengah mengikuti tahap ketiga dari rangkaian pertemuan dalam rangka mematangkan proyek yang didanai oleh Uni Eropa untuk membangun credit transfer sistem dengan universitas di Asia Tenggara, dimana kredit studi mahasiswa dari universitas-universitas yang menjalin kerja sama dapat ditransfer dari Uni Eropa ke Asia Tenggara maupun sebaliknya. Selain itu kami membuka kerja sama pemberian gelar ganda,” kata Menozzi menjelaskan maksud kunjungan ke Jakarta bersama Hunger.

Menurut Menozzi, proyek EACTS sudah bergulir sejak Oktober 2005 dan berlangsung hingga 31 September 2008. “Saat ini kami sedang berada dalam tahap mengesahkan kesepakatan antara Universitas Parma dan Universitas Indonesia serta Universitas Kebangsaan Malaysia untuk memulai program pertukaran mahasiswa dan juga dalam waktu dekat, program gelar ganda,” lanjut Menozzi.

Hunger mengungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman mereka program gelar ganda sejauh ini mendapat sambutan yang baik dari kalangan industri. Para penyandang gelar ganda tidak saja dianggap memiliki potensi keahlian dan ilmunya, namun juga memiliki pengetahuan dari dua budaya yang berbeda. Ini merupakan faktor plus dalam persaingan industi,” kata Hunger.
Namun saat ini proyek skema EACTS baru melibatkan program studi teknik (engineering) dari berbagai jurusan. “Kami berharap dalam waktu dua pekan kami sudah siap melaksanakan program pertukaran mahasiswa secara intensif melalui skema EACTS,” kata Menozzi.

TIDAK UNIVERSAL
EACTS merupakan mekanisme untuk mengharmonisasikan sistem kredit semester yang sudah diterapkan di masing-masing universitas. Mekanisme tersebut mengadopsi sistem transfer kredit semester yang sudah diterapkan di seluruh negara Uni Eropa (UE). Sebenarnya hampir semua universitas di berbagai negara telah menerapkan sistem kredit untuk menentukan beban studi yang harus dijalani mahasiswa selama menjalani perkualiahan.

Begitu pula universitas-universitas di Indonesia yang menerapakan sistem satuan kredit semester (SKS) yang bobotnya berbeda di beberapa mata perkuliahan. “Masalahnya barometer sistem kredit tersebut tidak berlaku universal di banyak negara. Jadi, tantangannya yaitu bagaimana menyelaraskan perbedaan-perbedaan tersebut,” kata Menozzi.

Di Indonesia, perbedaannya tidak saja pada penentuan pemberian kredit, namun juga mengenai pengertian suatu disiplin ilmu, ilmu teknik misalnya, dan penerapan kerja (kurikulum) yang berbeda dengan di Eropa. Menozzi mengungkapkan bahwa Fakultas Teknik Universitas Parma telah menerima seorang mahasiswa dari Indonesia yang didanai oleh pemerintah Italia melalui Institut Kebudayaan Italia (IIC) di Jakarta.

Melalui IIC, Italia dalam lima tahun terakhir telah memberikan beasiswa kepada 142 warga Indonesia untuk belajar di negara tersebut. Sedangkan Hunger mengungkapkan bahwa program gelar ganda antara Universitas Duisburg-Essen dan Universtias Indonesia sudah berlangsung dengan melibatkan enam mahasiswa dari Indonesia. (SH/o)

Sumber:
http://hariansib.com/2007/08/06/menyelaraskan-mutu-pendidikan
-tinggi-indonesia-dengan-standar-eropa/, tgl. 15 Agt. 2007

Sumber Gambar :
http://www.euroblind.org/images/europe_map2.gif

Prospek Pendidikan Tinggi Di Indonesia


Oleh: Drs. Mochtar Marhum, M.Ed.

Dalam Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No 20/2003) pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara".

UU Sisdiknas diatas telah mengandung aspek-aspek penting yang harus di perhatikan dalam pendidikan yaitu aspek cognitive, affective dan psychomotor. Dengan kata lain program pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek pengetahuan (cognitive) tetapi juga menekankan pada pembinaan sikap dan pengembangan keterampilan peserta didik. Oleh karena itu perguruan tinggi hendaknya menjadi institusi yang tidak hanya didominasi oleh nuansa pendidikan dan penelitian tapi juga seharusnya menjadi lembaga yang dapat membina sikap terpuji civitas akademiknya yaitu sikap menghindari tindakan kekerasan (violence) seperti aksi pemukulan atau penganiayaan dan tindakan ketidak jujuran akademis (academic dishonesty) seperti kasus penjiplakan (plagiarism), perjokian, dan cheating (nyontek).

Secara umum pendidikan tinggi terdiri dari dua jalur yaitu jalur akademik dan jalur kejuruan (vokasi). Jalur akademik adalah universitas, institute dan sekolah tinggi yang menawarkan stratafikasi gelar akademik dan spesialis (higher degrees and specialist) dan mencakup program pendidikan S1 (gelar sarjana), S2 (gelar Magister), Spesialis dan S3 (gelar Doktor). Sedangkan Jalur kejuruan atau vokasi, umumnya menawarkan pendidikan kejuruan (vocational education) setingkat program diploma (ahli Madya). Pendidikan ini umumnya diselenggarakan oleh semua akademi yang ada di Indonesia minus akademi fantasi.

Pendidikan tinggi (higher education) melayani jasa pendidikan tinggi termasuk pemberian pelayanan ilmu Basic Sciences (MIPA), Sciences (Ilmu-ilmu eksakta), Social Sciences and Humanities (Ilmu Social dan Humaniora). Pendidikan tinggi berhak menganugrahkan gelar akademik kepada alumninya yang telah memenuhi syarat-sayarat akademis sesuai dengan UU Sisdiknas. Tulisan ini akan membahas beberapa isu penting sekitar pendidikan tinggi dan tinjaun mengenai kebijakan pendidikan tinggi.

Profil Singkat Pendidikan Tinggi

Teasdale (1999) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in Higher Education" menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada abad millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara berkembang (developed countries) seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand. Realita ini diindikasikan dengan banyaknya hasil-hasil penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu pengetahuan dan technology (science dan technology) yang telah dipublikasikan di berbagai media, website inernet dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguraun tinggi di negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian kontekstual yaitu "memajukan bangsa melalui pendidikan".

Telah tercatat pula dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade yang lalu pendidikan tinggi di Indonesia pernah menjadi kiblat bagi mahasiswa dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran tersebut yang belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Namun sayangnya, menurut informasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya melansir bahwa dewasa ini ada lebih banyak jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Malaysia dan Singapura yang belajar di Indonesia.

Sama seperti pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami pasang surut. Ada beberapa isu dan polemik seputar perkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang pernah diberitakan oleh media lokal dan internasiona seperti isu, kualitas pendidikan tinggi, isu universitas perintis, polemik teaching university vs research university, konversi IKIP menjadi universitas dan isu otonomi perguruan tinggi yang ditandai dengan diberinya status perguruan tinggi berbadan hukum (PTBH) bagi UI,ITB,UGM dan IPB sebagai implementasi PP Nomor 61 tahun 1999 (Kompas,20/02/04).

Keritikan dan Saran

Pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup significant terhadap pembangunan di Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah pejabat negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Universitas ternama (leading universities) di pulau Jawa seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpadj,Unair, Undip serta diluar pulau jawa seperti USU, Unand, Unud, Unhas Unstrat, Unhalu, Untad, Unmul dan beberapa perguruan tinggi negeri lainya termasuk Univ negeri (eks IKIP) dan Univ Islam Negeri (eks IAIN) dan beberapa perguruan tinggi negeri lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah dipublikasikan liwat jurnal ilmiah dan diseminasikan liwat seminar,loka karya dan publikasi media.

Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia ternyata juga banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan tinggi swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi negeri. Ada banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi atau status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sama atau hampir sama dengan perguruan tinggi negeri. Bahkan sebahagian perguruan tingi swasta telah memiliki jurnal ilmiah yang telah terkreditasi. Beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup dikenal baik ditingkat lokal maupun tingkat nasional misalnya untuk di pulau Jawa ada Univ Trisakti, Universitas Brobudur, Univ Guna Darma, Unika Atma Jaya, Unas, Unpar Bandung ,UII Jokyakarta, Unmuh Malang, Ubaya. Sedangkan di luar pulau Jawa terdapat beberapa PTS yang dapat diperhitungkan dan sebahagian juga telah memiliki jurnal ilmiah. Perguruan tinggi swasta tersebut antara lain seperti Univ Nomensen Medan, Univ Bung Hatta Padang, UMI Makassar, Univ 45, Univ Klabad Manado, STIE/STISIPOL Panca Bakti Palu, Unisa Palu dan Unismuh Palu.

Lepas dari banyaknya kelebihan pendidikan tinggi di Indonesia, terdapat juga beberapa kekurangan yang perlu dibenahi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebijakan pendidikan tinggi yang kurang efektif dan sangat senralistik. Adapun kekurangan yang mungkin perlu diperhatikan dan dibenahi secara umum adalah:

Pertama,pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas atau hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi. Idealnya, pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi berprestasi untuk memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah tersebut.

Kedua, kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4 sks permata kuliah). Lagi pula, penelitian yang memakan waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot sks yang sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian mahasiswa di luar negeri. Di negara maju mahasiswa belajar sedikit mata kuliah tapi mendalam (in-depth).

Ketiga, kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading) ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti.

Keempat, kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program off-campus (distant learning) mungkin dapat menjadi solusi seperti yang ditawarkan oleh Universitas Terbuka.

Kelima, stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita belum menawarkan program honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cum-laude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2).

Keenam, Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian (combined course work dan research), idealnya perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan program pendidikan misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui bimbingan), Combined course work (seperti di Indonesia) dan pure course work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu jenis jalur pendidikan tinggi yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti ini sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan mahasiswa.

Selanjutnya, untuk program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa ditawarkan salah satu dari beberapa alternative program pendidikan tinggi, pertama " program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80 % dan bobot penelitian lebih kecil atau sekitar 20 % atau sebaliknya mata kuliah 20 % dan bobot penelitian 80 % dan atau fifty-fity yaitu 50 % bobot mata kuliah dan 50% penelitian.

Kemudian, untuk evaluasi program pendidikan seharus bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui mid-semester dan final semester. Seharusnya perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengn tujuan untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar dosen yang bersangkutan.

Di samping itu, perguruan tinggi haruslah merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informative dan edukatif karena beberapa waktu yang lalu program orientasi mahasiswa banyak diwarnai oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan mungkin membuka peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Saya kira kini sudah saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu pertama materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemamfaatannya serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi. kedua, program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mutu pendidikan tinggi di Indonesia kemungkinan akan lebih berkualitas dan dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negeri jiran jika seandainya stake holders pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodic dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.(Penulis adalah Kandidat Doktor (PhD), Flinders University, Australia/Staf Pengajar FKIP Universitas Tadulako). (2 Maret 2004)

Sumber :
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=30102
18 Maei 2009

Sumber Gambar :
http://www.dikti.go.id/Archive2007/kpptjp/tetra_h.gif

Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia


Enam puluh tiga tahun (63) tahun sudah pendidikan tinggi Indonesia eksis dan berkembang di bumi persada ini, dimulai dari hanya memiliki 200 orang mahasiswa saja pasca perang dunia kedua, sampai sekarang berjumlah 4,3 juta mahasiswa dengan 155.000 dosen, yang tersebar pada 82 universitas negeri dan 2800 perguruan tinggi swasta.
Dalam interval perjalanan panjang itu perguruan tinggi menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak sama dari masa ke masa. Dan satu pertanyaan mendasar -bisa juga dikatakan sebagai ekspektasi- yang selalu ditanyakan masyarakat adalah apa yang telah dikontribusikan perguruan tinggi untuk mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa ini. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan.

Pendidikan tinggi belum bisa menjadi factor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat; pendidikan tinggi belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah; belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri. Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Tentu banyak juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah lebih bergema dibandingkan deretan prestasi-prestasi itu.

Apa sebetulnya yang menjadi akar masalah. Apakah akarnya pada paradigma dan legislasi tentang pendidikan tinggi, atau pada implementasinya. Apakah ini problem kultural/mindset, legasi kolonial dan transisi paradigma pendidikan dari pendidikan Belanda ke Pola pendidikan Amerika yang tidak pernah tuntas. Apakah komunikasi yang tidak pernah terjadi perguruan tinggi dengan stakeholders, baik pada triple helix, maupun antara program studi dengan program studi, fakultas dengan fakultas, universitas dengan universitas lain. Melihat pemindaian sederhana ini, Bagaimana pendidikan tinggi Indonesia ke depan. (30 Oktober 2008)

Sumber :
Irwandi
http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=224&Itemid=1
18 Mei 2009

Sumber Gambar:

http://www.stripgenerator